Melahirkan adalah pengalaman yang akan selalu diingat bagi setiap ibu sampai akhir hayatnya. Saya sangat bersyukur di kehamilan yang pertama ini dapat memiliki pengalaman melahirkan yang sangat luar biasa (at least menurut saya) dan menyenangkan. Tidak ada rasa takut, tidak ada rasa trauma, tidak ada rasa kesal dan sesal, yang ada hanyalah rasa bahagia. Alhamdulillah..
Selama hamil dan proses persalinan saya hanya ditemani oleh hubby. Ditinggal sendirian di flat karena hubby harus menyelesaikan essaynya di perpus semalaman rasanya sudah biasa. Sampai detik-detik menjelang kelahiran dede bayi pun hubby masih harus berjuang dengan disertasinya. Sehingga perhatian dan waktu yang diberikan hubby pun terbatas. Meskipun hubby dalam proses pengerjaan disertasi, tapi Ia tidak pernah absen untuk menemani saya pada setiap kelas-kelas kehamilan dan pemeriksaan rutin ke bidan. Dengan support hubby lah saya mampu.
Pagi itu hari minggu tanggal 24 September 2017 sekitar jam 2 dini hari saya terbangun karena merasakan tendangan heboh dari dede bayi di sisi kiri atas perut saya. Sambil mengelus-elus perut dan menyapa dede, saya bangun sebentar lalu lanjut tidur lagi. Esok harinya senin pagi ketika saya akan pipis, saya lihat ada sedikit darah di celana dalam. Wah tanda-tanda nih! Rasanya excited sekali karena tau kalau dalam waktu dekat akan bertemu dede bayi. Saya sangat girang! Buru-buru saya beritahu hubby yang masih sibuk berjuang menyelesaikan disertasinya. Hubby juga ikut senang tapi sedikit panik karena Ia masih ada tanggung jawab lain yang harus dikumpulkan jam 12 siang hari senin itu. Sambil mengusap perut saya hubby bilang “tunggu ya de, dikit lagi papa selesai ngerjain disertasinya.”
Semangat Pa! 😊
Saya mengingat-ingat, semasa hamil saya memang sering mengajak dede mengobrol. Salah satu obrolan yang saya lakukan setiap malam sebelum tidur mulai dari trimester kedua kehamilan adalah meminta dede memberi saya kode jika Ia ingin segera dilahirkan. Saya berucap “De, kalo kamu mau lahir kasih tau mama ya sehari sebelumnya, kamu tendang-tendang di sini (sisi kiri atas perut saya) sampai mama ngeh.” Saya mengelus dan menunjuk bagian perut yang saya inginkan ditendang-tendang oleh dede ketika Ia minta dilahirkan. Barulah saya ngeh kalau sepertinya tendangan dede dini hari kemaren adalah kode darinya agar mamanya segera mempersiapkan diri untuk menyambut kelahirannya. 😊
Selain soal kode, obrolan dengan dede semasa hamil juga tentang bagaimana nanti proses persalinan yang kita (saya & dede) harapkan. Selalu setiap sebelum tidur saya sampaikan kepada dede kalau saya akan berusaha membantunya lahir ke dunia dengan penuh cinta dan damai. Saya ajak dede bayi agar nanti ketika kontraksi datang Ia segera turun ke panggul secara perlahan menuju jalan keluarnya. Saya ajak dede bayi agar nanti selama kontraksi kita habiskan lebih banyak waktu di rumah saja dengan bermain gymball, mandi atau jalan-jalan ke sekitar rumah. Saya juga mengajak dede bayi menjaga agar ketuban pecahnya nanti saja ketika benar-benar sudah dekat waktu melahirkan. Saya juga menyemangati dede bayi dengan mengatakan bahwa saya yakin dan mempercayainya dalam memilih jalan lahirnya sendiri.
Senin itu, sembari menunggu hubby menyelesaikan disertasinya, dari pagi hingga sore hari saya mempersiapkan diri. Sambil mendengarkan afirmasi hypnobirthing, saya latihan mengatur nafas berkali-kali. Saya juga mencari tau lebih lanjut tentang mucus plug dan memastikan bahwa darah yang keluar tadi pagi adalah wajar. Biasanya 2 hari sekali saya latihan yoga setiap sore, tetapi hari itu saya memutuskan tidak melakukan yoga. Hanya berjaga-jaga saja agar ketuban tidak pecah duluan. Jadi olahraga yang saya lakukan untuk mempersiapkan fisik yaitu dengan duduk di gymball sambil mendengarkan musik (Despacito – Swalla – Look What You Made Me Do, diputar berulang-ulang haha!) agar otot-otot di area panggul merenggang.
Siang menuju sore hari saya mulai merasakan kontraksi. Kontraksinya masih santai dan jarak per kontraksi masih cukup lama. Saya masih melakukan aktifitas seperti biasa. Setiap kontraksi datang, saya langsung duduk di gymball sambil bernyanyi dan bergoyang. Atau berjalan memutari kamar. Semakin aktif saya bergerak maka semakin samar rasa nyeri yang muncul dari gelombang cinta yang dikirimkan dede bayi kepada saya. Oh ya, selama hamil tua saya tidak pernah merasakan yang namanya Braxton Hicks. Ketika mulai kontraksi, dengan sendirinya saya tau itu adalah kontraksi yang asli. Gimana membedakan kontraksi asli dan palsu? Ini adalah pertanyaan umum para bumil baru, termasuk saya.
Jawabannya: “you know when it’s coming.” (tiba-tiba ingat kata bidan saya) 😊
Sore hari menuju malam, darah keluar lagi tapi masih sedikit. Kontraksi mulai semakin intens. Yang tadinya saya masih bisa ketawa-ketawa sambil merasakan kontraksi, saat itu setiap kontraksi datang saya mulai memusatkan perhatian agar dapat mengikuti irama kontraksinya. Saya usahakan agar tidak melawan rasa sakit yang muncul untuk membuat pikiran dan otot-otot semakin rileks. Sekitar jam 9 malam, kontraksi sudah 511 (muncul setiap 5 menit sekali, dengan durasi 1 menit per kontraksi, dan berlangsung selama 1 jam). Saya meminta hubby untuk menelpon rumah sakit. Bidan yang menjawab telpon tersebut menyarankan saya tetap berada di rumah dulu lalu kembali menghubunginya jika kontraksi sudah menjadi 311.
Hampir jam 11 malam pada saat itu kontraksi saya sudah menjadi 311. Tadinya saya sempat ingin menunda menelpon bidan karena saya mau selama mungkin berada di rumah. Meskipun kontraksinya sudah intens sekali, rasanya saya masih bisa menikmatinya di rumah saja. Tetapi ketika saya pipis, tiba-tiba keluar darah segar lagi dan kali ini dengan jumlah yang banyak. Saya kaget sekali! Sebisa mungkin saya mengontrol perasaan kaget itu dengan membayangkan bahwa sebentar lagi akan bertemu dede bayi. Dan itu berhasil membuat saya kembali tenang. Hubby kembali menelpon bidan dan akhirnya bidan mempersilahkan kita ke rumah sakit untuk diperiksa.
Tas bersalin sudah disiapkan, hubby pun memesan uber (iya, naik uber, nasib anak rantau yang jauh dari keluarga hehe). Perjalanan menuju rumah sakit hanya 10 menit. Dalam diperjalanan saya meminta supir uber tersebut untuk berjalan santai saja karena saya tidak ingin terlalu banyak guncangan. Dan juga jika supirnya ngebut malah akan membuat saya tegang. Sesampainya di RS RVI (Royal Victoria Infirmary) Newcastle, saya masih harus menunggu sekitar setengah jam karena ternyata cukup banyak juga bumil-bumil yang ingin diperiksa malam itu.
Rasa nyeri dari kontraksi mulai membuat saya merintih kecil. Di ruang tunggu, saya masih terus berusaha untuk selalu mengikuti irama kontraksi dan tidak melawan rasa sakitnya. Ternyata semakin susah ya Allah! Fokus saya pun mulai sedikit terbagi karena menunggu di sana rasanya tidak senyaman di rumah. Sembari menunggu giliran periksa, di setiap kontraksi saya memejamkan mata dan menggenggam tangan hubby yang selalu memberikan saya semangat. Lumayan sekali membantu membuat saya kembali nyaman.
Setelah bidan melakukan pengecekkan, ternyata saya sudah pembukaan lima. Wah, sudah senyeri ini ternyata masih bukaan lima (yaolohhh tulungg…). Segera saya diantarkan oleh bidan ke ruang delivery di lantai atas. Fyi, dari turun uber sampai masuk ke ruang delivery saya tidak naik kursi roda, yap, saya jalan kaki. Rasanya nyeri-nyeri sedap! 😀 Tadinya waktu turun dari uber hubby sempat menarik kursi roda agar saya duduk, tapi saya lebih suka jalan kaki biar kontraksinya jadi lebih enak.
Kalau ditanya, emang sesakit itu kah? Sebenarnya pada saat itu rasanya memang sangat sakit dan membuat saya tidak nyaman. Tapi saya berusaha membuat rasa nyerinya menjadi samar dengan mengikuti irama setiap kontraksi yang datang sambil terus mengatur nafas. Di dalam hati saya selalu mengingatkan diri sendiri bahwa semua rasa sakit yang sedang dan yang akan saya alami ini adalah proses alamiah dari tubuh saya untuk mengantarkan dede bayi terlahir ke dunia. Saya siap berpasrah kepada Allah untuk apa yang akan terjadi nantinya di ruang persalinan. Meskipun saya sangat berharap dapat melahirkan secara normal alami, tetapi pada titik itu saya berserah kepada Allah agar bagaimana pun nantinya jalan yang dipilih oleh dede bayi untuk dilahirkan (normal atau caesar), saya ikhlas.
Saya pun sangat bersyukur karena hubby selalu tenang selama menemani saya sehingga membuat saya juga ikut tenang menghadapi apa yang akan terjadi. Itulah yang kadang membuat saya lupa dengan rasa sakitnya.
Sesampainya di ruang delivery, saya dipersilahkan oleh bidan untuk rebahan di kasur. Ruangan delivery-nya cukup hangat dengan pencahayaan yang redup (ini yang saya harapkan). Di dalam ruangan hanya ada saya, hubby dan 1 bidan yang standby. Tidak ada orang lain yang keluar masuk ruangan untuk mengecek ini itu sehingga suasana yang tenang tetap terjaga. Bidan yang menemani saya sangat ramah dan selalu berbicara dengan lembut. Ia menenangkan saya dengan mengatakan “don’t worry, you’re doing great, you’re amazing” sampai beeeerulang-ulang. Bisa dibilang dari segi ruangan/tempat melahirkan, bidan, dan pelayanan dari rumah sakit sukses membuat saya merasa nyaman dan aman selama prosesnya.
Pendarahan tadi membuat saya tidak diperbolehkan melahirkan di dalam air karena saya harus dipasangi alat untuk memantau detak jantung bayi (padahal dari duluuuu banget bahkan sebelum nikah saya punya cita-cita suatu saat bisa waterbirth, mungkin anak kedua nanti?). Alat tersebut terhubung ke mesin yang ada di sebelah saya, jadi saya tidak bisa berjalan terlalu jauh dari kasur. Di dalam ruang bersalin, saya tetap berusaha bergerak aktif dengan sering merubah posisi (tidak dalam posisi tidur melulu) yaitu dengan berdiri/berjalan di sekitar kasur, menungging di atas kasur atau menungging di pinggir kasur.
Bidan yang menemani saya sangat sabar dan pengertian. Berkali-kali Ia harus memperbaiki letak alat detak jantung bayi yang terpasang diperut saya karena saya selalu mengubah posisi dan berjalan ke sana kemari demi menemukan posisi ternyaman selama kontraksi. Hubby yang masih sangat lelah dan mengantuk karena berhari-hari begadang menyelesaikan disertasinya, selalu sigap memijat pinggang/panggul saya setiap saya merintih. Sesekali hubby juga mengusap rambut dan mencium kening saya untuk memberikan semangat.
*Buat para suami dan calon suami di luar sana, mengusap, memijat, menggenggam tangan, dan mencium istri saat istri akan melahirkan buah hati kalian, itu akan sangat sangat sangat membantu menguatkan dan menenangkan hatinya. Selain doa, sikap suami yang tenang dan penuh cinta pasti akan membuat istri semakin semangat berjuang. Jadi jangan dihemat-hemat ya perhatiannya karena istri lagi butuh-butuhnya 😊
Sekitar jam 3 dini hari, saya meminta dipasangi epidural. Rasanya sudah tidak kuat lagi bertahan. Kira-kira hampir jam 4 dokternya baru bisa datang ke ruangan saya. Dalam proses pemasangan, Byaarrr!! Ketuban saya pecah! Di hati masih sempat berfikir, ‘ohh gini ya rasanya ketuban pecah, lucu juga hehe..’ Ketubannya banyak sekali berceceran di lantai (berasa kaya habis diguyur air sebaskom haha) 😀
Dokter yang memasang epidural terpaksa harus mengulangi pemasangannya di titik lain karena saya terlalu banyak gerak waktu ketuban pecah. Setelah selesai dipasang, rasa sakitnya malah semakin menjadi-jadi. Epiduralnya sama sekali tidak berfungsi. Benar-benar sedikit pun tidak membantu mengurangi rasa sakitnya! Ternyata tadi pembukaan saya sudah hampir sempurna waktu proses pemasangan. Karena ada prosedur tertentu dari epidural, saya diminta menunggu 1 jam baru boleh memulai proses ngeden-mengeden (padahal rasanya dede bayi udah diujung tanduk banget loh). Sabar ya, De 😊
Aku belum ngeden taktuntuang-taktuntuang…~ Karna masih nunggu sejam taktuntuang-taktuntuang…~
Next.
Mulailah saat yang ditunggu-tunggu (ngeden). Prosesnya cukup panjang dan memakan waktu sekitar 2 jam. Di sela-sela waktu mendorong dede bayi keluar, saya malah tertidur. Ntah karena efek belum tidur semalaman atau efek epiduralnya (?), perasaan saya ngantuk sekali. Plus, sakitnya juga mulai berkurang jadilah semakin pulas tidur saya.
Mungkin bagi beberapa orang yang mendengar cerita saya akan berkomentar, ‘wah lama juga prosesnya sampai 2 jam, pasti sakit banget’ – ‘wah kasian harus ngeden sampai berjam-jam’ blablabla dan seterusnya. Jujur, justru proses ngeden yang berlangsung kurang lebih 2 jam itu adalah proses yang paling saya nikmati. Proses yang paling ‘enak’. Saya bahkan sampai tertidur berkali-kali dan masih sempat minum di sela-sela prosesnya. Rileks dan damai.
Ketika bersalin saya dibantu oleh dokter dan bidan. Hubby selalu berada di sebelah saya sambil sesekali melihat ke bawah dan memberitahu kalau rambut dede sudah mulai kelihatan. Pada saat mengeden, bidan yang membantu selalu mengingatkan saya untuk mengatur nafas agar saya tidak kelelahan. Dokternya juga menyarankan mengeden tanpa suara supaya energi tetap terjaga.
Tepat jam 08.21 tanggal 26 September 2017 (padahal due date 8 Oktober 2017), lahirlah putri cantik kami ke dunia. Ketika terdengar tangis kecilnya dan melihat bidan mengangkatnya keluar untuk mengantarkannya ke dada saya, suasana sekejap seperti hening.
Detik-detik seperti melambat.
Suara orang-orang di sekitar saya menjadi samar.
Pikiran saya hanya terfokus pada rupa dan suara tangis si bayi mungil yang perlahan mendekat ke arah saya. Tangis bahagia saya pun pecah melihat sosok yang selama ini saya nantikan kehadirannya. Sosok yang selama hampir 9 bulan menemani saya ke mana-mana. Sosok yang selalu saya ajak bercerita tentang apapun. Sosok yang sering menendang-nendang perut saya setiap saat. Sosok yang sangat saya cintai sejak dirinya belum terlihat. Sosoknya sekarang begitu nyata.
Saya sangat bersukur kepada Allah atas pencapaian yang luar biasa ini. Rasa sakit, keringat, dan capek selama proses persalinan tadi sekejap lupa dan hilang. Dede bayi yang kami panggil Qila, ketika terlahir ke dunia hanya menangis sebentar. Tangisnya reda saat Qila berada di pelukan saya untuk skin to skin. Bidan memperbolehkan saya melakukan skin to skin selama mungkin yang saya mau. Selama di rumah sakit Qila tidak pernah dipisahkan sedetik pun dari pandangan saya. Semua pemeriksaan terhadap bayi dilakukan di dalam ruangan bersama saya. Bidan, dokter, perawat, maupun bidan laktasi yang mau mengecek kondisi saya dan bayi masuk bergantian ke ruangan. Mereka tidak membawa bayi ke ruangan khusus bayi, melainkan meletakkan bayi di crib tepat di sebelah ibunya sepanjang hari sampai waktunya pulang.
Apakah dijahit? Iya. Tapi tidak sakit sama sekali karena efek bius lokalnya. Beberapa jam setelah dijahit saya pun sudah bisa mondar mandir ke kamar mandi sendiri. Waktu mau pulang ke rumah, dari kamar menuju ke lobi depan rumah sakit tempat uber menunggu, saya juga jalan kaki dan tidak menggunakan kursi roda. Dokter dan bidan di rumah sakit menyarankan agar saya banyak bergerak (tapi tidak memaksakan diri, kalau dirasa sakit ya berhenti) supaya cepat pulih.
Oh ya, di sini semua bayi yang baru lahir tidak langsung dimandikan. Paling cepat mereka memandikan newborn adalah satu hari setelah kelahirannya. Gunanya untuk menstabilkan gula darah bayi, menjaga temperature badan bayi, mencegah resiko terkena infeksi (karna newborn masih dilapisi dengan Vernix), dan juga dapat membantu mensukseskan breastfeeding (menyusui dapat lebih berhasil jika ibu dan bayi tidak dipisahkan dengan prosedur medik ataupun mandi karna bayi selalu menempel dengan ibunya). Qila dimandikan 2 hari setelah lahir tepat di pagi hari sebelum pulang ke rumah. Bidan yang memandikan juga mengajarkan saya dan hubby cara memandikan bayi yang benar dan memastikan sampai kami mengerti.
Senang, haru, lega, bahagia, semua campur aduk.
Alhamdulillah ya Allah..
Bagi para bumil, jangan pernah menyepelekan the power of ngajak bayi ngobrol sejak dalam kandungan karena apapun yang kamu sampaikan kepada dede bayi sejak dalam kandungan mungkin akan Ia ingat dan Ia realisasikan. Yakinlah jika kamu percaya bahwa bayimu hebat dan mampu berjuang bersama mu, maka Ia akan membantu mu dengan cara yang luar biasa indahnya.
Sehat, selamat, dan sempurna.. 😊
Ps: semua biaya persalinan = gratis. Yayyy!
Cheers! @fidihersani ❤